Wednesday, December 31, 2014

Wisata Religi Bawean



Bhujuk Tampo



Putri Condrowulan, ibunda Sunan Ampel; Nyi Ageng Maloko, putri Sunan Ampel; dan laksamana Cheng Ho, yang makamnya terletak di Bawean. Semunya masih menjadi teka teki sejarah. Prihal Dempo—bahasa Cina yang berarti nahkoda—Cheng Ho tersebut, menurut penulis, kemungkinan memilih menetap di Bawean karena konstalasi politik Dinasti Ming sedang goncang. Sehingga, ia memimilih menetap di Bawean sampai akhir hanyatnya. Kini, makam Cheng Ho tersebut dikenal dengan Jujuk Tampo (Buyut Tampo).
Dengan demikian, kajian dalam buku ini mengungkap suatu peristiwa masa lalu yang masih menjadi misteri masa kini. Asal mula huruf Honocoroko, makam ibunda Sunan Ampel, Putri Condrowulan; makam Nyi Ageng Maloko, dan makam Cheng Ho beserta istrinya diungkap secara deskriptif, meski belum bisa disebut ‘sejarah kritis’. Dan yang tak kalah penting dari kajian buku ini adalah prihal ajaran Syeikh Siti Jenar, yang mengalami nasib teragis di Jawa, yang kemudian diteruskan oleh Sayyidah Waliyah Zainab di Bawean.
  lokasi Desa Pudakit Barat Kec. Sangkapura

 .....................
Waliyah Zainab




Waliyah Zainab adalah generasi keempat penerus ajarah Syeikh Siti Jenar. Sejauh ini belum banyak diungkap siapa gerangan yang menjadi penerus ajarah Syeikh Siti Jenar yang kontroversial itu; “Manunggaling Kawulo Gusti”. Beberapa buku yang telah best seller, seperti karya Munir Mulkhan (2001), Agus Suyoto, dan sebagainya, baru mengungkapkan bagian awalnya saja. Dhiyauddin, yang tak lain masih memiliki darah keturunan dari Siti Jenar, mengupas ajaran tersebut dalam bab khusus.
Sosok Waliyah Zainab ditengarai mempraktikkan ajaran Siti Jenar, sebab ia mendapat didikan langsung dari sang ayah, Sunan Duwur, dan kakeknya Sunan Sendang. Sunan Sendang adalah orang yang mengkodifikasikan ajaran Siti Jenar. Naskah itu tidak berjudul, tetapi memuat apa yang disebut Sastro Cettho Wadiningrat (Ilmu Nyata Rahasia Kehidupan), atau disebut juga Ilmu Kabegjan (Ilmu Mencapai Kebahagian Sejati) yang semakna dengan Hikmah al-Islamiyah, dalam kajian tawawuf.
Kajian tasawuf sendiri memuat akidah-syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat. Syeikh Siti Jenar mengistilahkan catur wiworo werit (Empat Perjalanan yang Sempit) dalam menegaskan betapa empat jalan; syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifah, bukanlah jalan yang gampang (werit). Untuk itu, manusia mesti menanamkan keempat hal pokok itu secara sempurna. Barulah ia akan mencapai aqidah (keimanan) yang sempurna, sebab keimanan itu tidaklah hanya sekedar “percaya” an sich kepada Allah, melainkan kecintaan (hubb). Bila sempurna, maka sang hamba akan merasa bersatu dengan Tuhannya. Demikianlah juga apa yang dipraktekkan oleh Waliyah Zainab.
Waliyah Zainab, disamping meneruskan ajarah Siti Jenar, juga menjadi pemuka agama di Pulau Bawean. Ia meneruskan benih Islam yang telah dakwah Islam yang telah disemai oleh Putri Condrowulan. Namun, keberadaannya di Bawean tak lepas dari konstalasi politik di Jawa. Artinya, Bawean menjadi pulau tempat pengasingan, yang kelak justru islamisasinya cukup merata, khususnya di masa Umar Mas’ud, adipati utusan kerajaan Sumenep, Madura, yang datang kemudian. Sejauh ini baru Jacob Vredeberg yang mengungkap Islamisasi di Bawean dalam karyanya Bawean dan Islam (1992).
 Lokasi Desa Diponggo Kec. Tambak
.........................
Sunan Bonang
 

Sunan Bonang nama aslinya adalah RADEN MAKDUM IBRAHIM. Beliau adalah putra Sunan Ampel dengan Dewi Candrawati. Dewi Candrawati adalah putri Prabu Brawijaya Kertabumi. Dengan demikian Sunan Bonang
masìh ada hubungan dengan Keluarga Besar Majapahit. Raden Makdum Ibrahim sesudah selesai belajar dengan Sunan Ampel dì Surabaya bersama Raden Paku beliau meneruskan pelajaranya ke Samudra Pasai. Disana beliau berguru kepada Syeh Maulana Ishak (Paman Sunan Ampel)dan beberapa ulama besar ahli tasawwuf dari Baghdad dan Iran. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam atau tauhid. Sekembalinya ke tanah jawa Raden Makdum Ibrahim berdakwah di daerah Tuban. Cara berdakwah beliau sangat unik dan bijaksana. Beliau dapat mengambil hati rakyat untuk datang ke Masjid dengan menciptakan gending dan tembang yang disukai rakyat, beliau sangat ahli dalam membunyikan gending yang disebut bonang, itu sebabnya rakyat Tuban kemudian mengenlnya sebagai Sunan Bonang. Sunan Bonang sering berdakwah keliling, hingga wafatnya beliau sedang berdakwah di daerah di Pulau Bawean. Oleh murid-muridnya jenazahnya diminta untuk dimakamkan di Tuban namun oleh murid-muridnya yang di Bawean tidak boleh, hingga malam harinya jenazah Sunan Bonang dilarikan ke Tuban oleh murid-muridnya yang di Tuban, anehnya di
Bawean jenazah Sunan Bonang masih ada hanya kain kafanya tinggal satu. Dengan demikian kuburan Sunan Bonang ada dua yang satu di barat Masjid Sunan Bonang Tuban. Yang satunya lagi di kampung Tegal Gubuk(Barat Tambak Bawean). Ketika Intisari melacak ke pulau terpencil antara Jawa
dan Kalimantan tersebut, terdapat dua makam Sunan Bonang di tepi pantai - dan tiada cara untuk memastikan mana yang lebih masuk akal, meski untuk sekadar “dikira ” sebagai makam Sunan Bonang. Salah satu makam memang tampak lebih terurus, karena dibuatkan “rumah” dan diberi kelambu - sedang makam satunya masih harus bersaing pengakuan dengan spekulasi lain bahwa itu sebenarnya makam seorang pelaut dari Sulawesi yang kapalnya karam di sekitar Bawean. Tentang makam di Bawean terdapat legenda yang bisa diikuti dari Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad (2000) karya Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri. Konon setelah Sunan Bonang wafat di Bawean, murid- muridnya di Tuban menghendaki agar Sunan Bonang dimakamkan di Tuban, tetapi para santri di Bawean berpendapat sebaiknya dimakamkan di Bawean saja, mengingat lamanya perjalanan menyeberangi laut. Syahdan, para penjaga jenazah di Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra) oleh mereka yang datang Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra) oleh mereka yang datangmalam hari dari Tuban. Dikisahkan betapa kuburan dibongkar {versi lain, dalam Misteri Syekh Siti Jenar: Peranan Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (2004) karya Hasanu Simon, jenazah masih di tengah ruangan dan jenazah dibawa berlayar ke Tuban malam itu juga, untuk dimakamkan di dekat astana mesjid Sunan Bonang. Meskipun begitu, menurut para santri Bawean, yang berhasil dibawa ke Tuban sebetulnya hanyalah salah satu kain kafan; sebaliknya menurut para santri Tuban, yang terkubur di Bawean juga hanyalah salah satu kain kafan.
lokasi Desa Pekalongan Kec. Tambak
  (dari berbagai sumber)


VIDEO TUTORIAL